Rabu, 20 November 2013

beriklan dalam etika dan estetika

ETIKA & ESTETIKA DALAM IKLAN



            Persaingan dalam dunia bisnis kian ketat, berbagai perusahaan berlomba-lomba berkreasi se-kreatif mungkin untuk membuat program marketingnya termasuk pengolahan ide iklan. Lihat saja di televisi, berbagai iklan diputar di sela-sela tayangan program televisi tersebut. Bila iklan tidak dibuat semenarik mungkin, maka orang akan lebih memilih untuk mengganti channel televisi daripada melihat iklannya. Sama juga dengan iklan di media pajang seperti billboard. Laju kendaraan dan padatnya lalu lintas membuat orang sulit untuk fokus pada suatu iklan tertentu. Berdasar dari insight itulah, berbagai pembuat iklan selalu berusaha membuat iklan yang unik, berbeda dan menarik.

Etika?
Ilmu tentang apa yang  baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral  (KBBI).

            Unik dan menarik-nya sebuah iklan bisa menimbulkan kontroversi apabila tidak mengacu pada kaidah etika. Selayaknya pembuatan konsep kreatif sebuah iklan mengacu pada ciri iklan yang baik yaitu:
·         Etis: berkaitan dengan kepantasan.
·         Estetis: berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan harus ditayangkan?).
·         Artistik: bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.
·         Jujur : tidak memuat konten yang tidak sesuai dengan kondisi produk yang diiklankan
·         Tidak memicu konflik SARA
·         Tidak mengandung pornografi
·         Tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
·         Tidak melanggar etika bisnis, ex: saling menjatuhkan produk tertentu dan sebagainya.
·         Tidak plagiat

Sejarah Etika Periklanan Di Indonesia
Aturan, tata cara dan etika dalam beriklan sempat menjadi perbincangan di masa periklanan modern Indonesia pada tahun 1978 yaitu inisiatif untuk melahirkan Tata Krama Periklanan Indonesia. Contohnya saat itu pemerintah Indonesia mendukung dibentuknya Dewan Periklanan Nasional yang beranggotakan PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia), SPS (Seikat Penerbit Surat kabar), TVRI & RRI, PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia, GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) dan YLKI (yayasan Lembaga Konsumen Indonesia). Sayangnya dewan itu hanya berusia satu tahun sebelum pada akhirnya dibubarkan. Tata Krama Periklanan Indonesia yang dicita-citakan akan lahir dari Dewan Periklanan Nasional tidak sempat menjadi kenyataan. Beberapa pendapat mengatakan beberapa hal bahwa terutama ini karena tekanan dari pengelola media cetak yang menginginkan agar kode etik periklanan mengacu pada Kode Etik Penerbitan Pers yang sudahh dimiliki dan diberlakukan oleh SPS bagi par anggotanya.
Pada pertengahan tahun 1980, Aspindo (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia) memprakarsai sebuah Simposium Periklanan Nasional bersama PPPI, SPS dan PRSSNI. Semua draft dan butir-butir pikiran Tata Krama Periklanan Indonesia yang pernah dirumuskan di masing-masing organisasi “dipertemukan” dalam simposium ini dan dibahas secara bersama.
Menjelang akhir tahun 1980, sebagai kelanjutan dalam Simposium Periklanan Nasional, diselenggarakan Konvensi Masyarakat Periklanan Indonesia untuk mencoba merumuskan sebuah rancangan Tata Krama Periklanan Indonesia yang dapat disepakati bersama. Setelah melalui persidangan sebanyak 68 kali dalam waktu delapan bulan, akhirnya lahirlah Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia. (TKTCPI).

ETIKA PARIWARA INDONESIA (EPI)
(Disepakati Organisasi Periklanan dan Media Massa, 2005). EPI merupakan acuan terkini dalam mengatur pembuatan iklan supaya tetap mengacu kaidah etika sesuai dengan norma dan hukum yang berlaku di Indonesia. Terdapat dua puluh tujuh poin yang menjadi aturan atau etika dalam beriklan di indonesia.
            Melalui tulisan ini, penulis tidak akan menjabarkan ke-dua puluh tujuh poin tersebut. Namun penulis akan mengacu pada beberapa poin saja yang disinkronkan dengan iklan media cetak berikut ini:


            Iklan tersebut di atas bukan hasil produksi dari insan periklanan di Indonesia. Dalam asumsi penulis, iklan sebuah produk soft drink ini bermaksud mengusung imej sebagai minuman yang mampu menghilangkan rasa takut dan memunculkan rasa senang. Oleh sebab itu kreator menggambarkannya dengan orang yang akan dihukum gantung namun justru berekspresi senang melalui senyumannya ketika minum soft drink tersebut.
            Bila dikorelasikan dengan aturan etika periklanan dalam Etika Pariwara Indonesia, iklan media cetak tersebut berbenturan dengan dua poin dalam aturan ini yaitu poin ke sembilan dan ke sepuluh yang berbunyi sebagai berikut:
9. Rasa Takut dan Takhayul: Iklan tidak boleh menimbulkan atau mempermainkan rasa takut, maupun memanfaatkan kepercayaan orang terhadap takhayul, kecuali untuk tujuan positif.
10. Kekerasan: Iklan tidak boleh – langsung maupun tidak langsung -menampilkan adegan kekerasan yang merangsang atau memberi kesan membenarkan terjadinya tindakan kekerasan.
            Iklan tersebut menjadi berbenturan dengan EPI karena secara visual dapat menimbulkan rasa takut melalui gambaran kekerasan (algojo dan hukum gantung).
Disangkutkan dengan hal lainnya, pada bulan Juni 2012 lalu, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) DKI Jakarta bekerjasama dengan PT Fonterra Brands Indonesia, perusahaan susu yang berpusat di Auckland, New Zealand, baru-baru ini menggelar diskusi “Etika Periklanan: Pedoman Periklanan Produk Pangan” di Ritz Carlton, Jakarta. Diskusi tersebut merupakan wadah komunikasi terbuka antar semua pihak yang terlibat dalam penayangan pariwara, yaitu industri periklanan, pebisnis, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat terkait.
Membuka acara diskusi, Ketua P3I DKI Jakarta, Irfan Ramli mengatakan bahwa pedoman periklanan yang ada saat ini belum cukup sempurna untuk dapat mengikuti perkembangan dunia iklan baik dari segi kreativitas, maupun media sehingga diperlukan adanya pembaruan periklanan. Banyak biro iklan yang belum termasuk dalam keanggotaan P3I, sehingga P3I sendiri cukup kesulitan untuk memantau semua konten media beriklan. Untuk menayangkan iklan produk pangan pada khususnya, banyak kepentingan yang terlibat. Namun dengan adanya ketentuan-ketentuan periklanan seharusnya pekerjaan ini bisa lebih mudah. Agensi iklan tetap bisa menjaga kreativitasnya di jalur yang sesuai dan produsen tetap bisa mengiklankan produknya, meskipun harus tetap mengikuti pedoman periklanan produk pangan dari BPOM.
Mengenai keterkaitan Badan POM dalam hal ini, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan POM RI Roy A. Sparringa dalam pertemuan tersebut menyampaikan bahwa  dalam membuat peraturan terkait keamanan pangan, selama ini BPOM berpegang pada pedoman CODEX, yaitu komisi di bawah Food andAgricultural Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) yang mengatur standardisasi keamanan pangan. CODEX juga sudah banyak diperhatikan oleh perusahaan besar. Saat ini, Badan POM tengah mengembangkan dan memperbaiki pedoman yang mengatur mengenai produk pangan, khususnya tentang periklanan. Pedoman ini memiliki ketentuan dasar bahwa sebuah iklan harus benar dan tidak menyesatkan, mengingat eratnya hubungan antara iklan dengan persepsi konsumen.
Dalam pembuatan iklan sendiri, menurut Roy A. Sparringa, terlebih mengenai penayangan iklan di media elektronik, masyarakat khususnya anak-anak cenderung mudah menyerap pesan dari iklan-iklan yang ditayangkan di TV, sehingga para pelaku iklan harus lebih cermat dan memahami perilaku konsumen. Di sinilah etika mulai berperan dalam memberikan tata krama dan tata cara beriklan agar pelaku usaha sebagai pengiklan dan asosiasi iklan bertindak sesuai dengan aturan.
Dapat disimpulkan dari diskusi ini bahwa dalam melaksanakan etika periklanan, khususnya untuk produk makanan dan minuman, diperlukan kerjasama yang kondusif antara badan yang berwenang dan pihak pengontrol iklan yakni industri, pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian etika periklanan menjadi usaha nyata untuk memberikan informasi yang benar dan mendidik kepada konsumen serta meningkatkan kualitas industri periklanan sesuai dengan perkembangannya.
Penulis juga ingin menyampaikan tentang pandangan kritis konsumen Indonesia saat ini selain mengenai kandungan dalam produk makanan dan minuman juga adalah status halal dan haramnya produk konsumsi tersebut. Jadi dalam pandangan penulis, dalam iklan produk makanan dan minuman seharusnya memegang etika periklanan dengan mencantumkan keterangan lolos uji klinis BPOM serta keterangan halal dari MUI.
Merujuk pada contoh kasus iklan media cetak di atas, apabila iklan tersebut muncul di Indonesia, selain melanggar 2 poin dalam Etika Pariwara Indonesia, menurut penulis juga iklan minuman tersebut belum memenuhi norma iklan di Indonesia untuk mencantumkan lolos uji klinis BPOM RI dan juga keterangan halal dari MUI (Majelis Ulama Indonesia).

Daftar Pustaka
Winarno, Bondan. Rumah Iklan: Upaya Matari Menjadikan Periklanan Indonesia Tuan Rumah Di negeri Sendiri. 2008. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
http://ruangdosen.wordpress.com/2010/04/04/etika-dalam-periklanan/
http://the-marketeers.com/archives/peran-etika-periklanan-produk-makanan-dan-minuman.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar